PUISI UNTUK MAMA
(Oleh Siti Norpi’ah)
Fajar anak sulung dari 2 bersaudara, Musa saudara mudanya berusia 5
tahun. Fajar adalah siswa di sebuah Madrasah Ibtidaiyah Swasta. Fajar bukanlah
anak yang cerdas di sekolahnya, bukan juga dari golongan orang kaya. Ayahnya hanya
seorang karyawan di sebuah Perusahaan Swasta, sedangkan ibunya hanya seorang
ibu rumah tangga. Namun Fajar seorang anak yang mandiri dan penurut.
Setiap pukul 04.30 pagi Fajar selalu bangun, sholat subuh, mengaji
kemudian mandi. Ia selalu melakukan kegiatannya sendiri. Tak lupa Ia
membangunkan adiknya Musa.
“Bantu menyiapkan untuk sarapan ya... Jar,“ kata Mama.
“Ok, Ma...” kataku sambil tersenyum.
Sebelum berangkat sekolah, Aku dan Musa menunggu di teras rumah. Seperti
biasa Aku selalu bercengkrama dengan adikku yang masih duduk di Taman
Kanak-kanak itu menunggu Ayah yang akan berangkat kerja dan juga mengantar kami
ke sekolah. Kamipun berangkat, Mama melepas kepergian kami dengan harapan kami
pulang membawa ilmu. Lambaian tangan Mama masih kulihat hingga kami menghilang
di perempatan jalan.
Tiba di sekolah, teman-teman menyambut kedatanganku. Tak lama bel
berbunyi, kamipun masuk kelas dan Bu Aisyah guru kelas kami memberikan
pelajaran. Sebelum pulang Bu Aisyah menyampaikan bahwa untuk minggu depan diadakan
lomba baca puisi di sekolah, yang setiap kelas diwakili oleh satu siswa. Entah kenapa
kali ini Bu Aisyah memilih aku sebagai wakil kelas kami. Yah, akupun tak bisa
menolak.
Bel pulang berbunyi, kami berdo’a. Satu persatu kami bersalaman kepada
Bu Aisyah. Aku melangkah menuju halte, menunggu Ayah datang menjemputku. Aku
mulai berpikir puisi apa yang harus kutampilkan. Sampai-sampai aku tidak
menyadari kehadiran Ayah.
“Ayo Jar,” kata Ayah. Lamunanku buyar.
“Musa mana Yah,” tanyaku.
“Di rumah,” kata Ayah.
“Mengapa tak ikut menjemputku?” tanyaku lagi
“Dia sedang main bersama Dhika,“ jawab Ayah. Dhika tetangga kami
kataku dalam hati. Akupun diam
Sepanjang jalan aku masih terus memikirkan tentang puisi. Tak terasa Aku
dan Ayah sampai di rumah. Kuketuk pintu, kuucap salam. Suara khas kudengar dari
dalam menjawab salamku. Pintu terbuka, hal pertama yang kulihat, senyum Ibuku.
Sejuk hatiku kala kulihat senyum itu setiap kali aku pulang sekolah.
“Ganti baju Nak, kita akan makan.” Kata Mama
“Iya Ma,” jawabku
Kuganti bajuku dan langsung melangkah ke dapur. Semua sudah siap untuk
menyantap hidangan. Masakan ibuku memang luar biasa. Itu alasan ayah selalu
pulang di jam istirahat kantor. Di sela waktu makan kutemukan inspirasi untuk
puisiku. Malam hari, aku mulai membuat puisi.
Keesokan harinya kusampaikan pada Ayah dan Ibu, aku terpilih mewakili
kelasku untuk lomba baca puisi di sekolah. Ibu senang mendengarnya. Dan
berjanji akan hadir melihat penampilanku pada Lomba nanti. Yes, aku semangat.
Hari ini, Lomba baca puisi dilaksanakan. Ibuku duduk tepat di depan
panggung. Saat namaku dipanggil, akupun maju, agak gugup tapi kulihat senyum
ibuku rasa gugup itu hilang. Kubaca dengan lantang bait demi bait puisiku yang
kuberi judul Bunda Sayang. Sampai
pada bait terakhir...
Bunda...
Aku slalu
menyayangimu
Jasamu takkan
pernah bisa terbalas olehku
Namun, aku akan
berusaha menjadi anak kebanggaanmu.
Kulihat mata ibuku basah, aku turun dari panggung menghampiri ibuku.
“Mama bangga,” kata Mama sembari memelukku.
Kumantapkan
dalam hatiku, sama seperti puisi yang kubaca. aku akan berusaha menjadi anak
kebanggaanmu hingga kelak aku dewasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar