Rabu, 06 Mei 2020

Cerpenku

PUISI UNTUK MAMA
(Oleh Siti Norpi’ah)
Fajar anak sulung dari 2 bersaudara, Musa saudara mudanya berusia 5 tahun. Fajar adalah siswa di sebuah Madrasah Ibtidaiyah Swasta. Fajar bukanlah anak yang cerdas di sekolahnya, bukan juga dari golongan orang kaya. Ayahnya hanya seorang karyawan di sebuah Perusahaan Swasta, sedangkan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Namun Fajar seorang anak yang mandiri dan penurut.
Setiap pukul 04.30 pagi Fajar selalu bangun, sholat subuh, mengaji kemudian mandi. Ia selalu melakukan kegiatannya sendiri. Tak lupa Ia membangunkan adiknya Musa.
“Bantu menyiapkan untuk sarapan ya... Jar,“ kata Mama.
“Ok, Ma...” kataku sambil tersenyum.
Sebelum berangkat sekolah, Aku dan Musa menunggu di teras rumah. Seperti biasa Aku selalu bercengkrama dengan adikku yang masih duduk di Taman Kanak-kanak itu menunggu Ayah yang akan berangkat kerja dan juga mengantar kami ke sekolah. Kamipun berangkat, Mama melepas kepergian kami dengan harapan kami pulang membawa ilmu. Lambaian tangan Mama masih kulihat hingga kami menghilang di perempatan jalan.
Tiba di sekolah, teman-teman menyambut kedatanganku. Tak lama bel berbunyi, kamipun masuk kelas dan Bu Aisyah guru kelas kami memberikan pelajaran. Sebelum pulang Bu Aisyah menyampaikan bahwa untuk minggu depan diadakan lomba baca puisi di sekolah, yang setiap kelas diwakili oleh satu siswa. Entah kenapa kali ini Bu Aisyah memilih aku sebagai wakil kelas kami. Yah, akupun tak bisa menolak.
Bel pulang berbunyi, kami berdo’a. Satu persatu kami bersalaman kepada Bu Aisyah. Aku melangkah menuju halte, menunggu Ayah datang menjemputku. Aku mulai berpikir puisi apa yang harus kutampilkan. Sampai-sampai aku tidak menyadari kehadiran Ayah.
“Ayo Jar,” kata Ayah. Lamunanku buyar.
“Musa mana Yah,” tanyaku.
“Di rumah,” kata Ayah.
“Mengapa tak ikut menjemputku?” tanyaku lagi
“Dia sedang main bersama Dhika,“ jawab Ayah. Dhika tetangga kami kataku dalam hati. Akupun diam
Sepanjang jalan aku masih terus memikirkan tentang puisi. Tak terasa Aku dan Ayah sampai di rumah. Kuketuk pintu, kuucap salam. Suara khas kudengar dari dalam menjawab salamku. Pintu terbuka, hal pertama yang kulihat, senyum Ibuku. Sejuk hatiku kala kulihat senyum itu setiap kali aku pulang sekolah.
“Ganti baju Nak, kita akan makan.” Kata Mama
“Iya Ma,” jawabku
Kuganti bajuku dan langsung melangkah ke dapur. Semua sudah siap untuk menyantap hidangan. Masakan ibuku memang luar biasa. Itu alasan ayah selalu pulang di jam istirahat kantor. Di sela waktu makan kutemukan inspirasi untuk puisiku. Malam hari, aku mulai membuat puisi.
Keesokan harinya kusampaikan pada Ayah dan Ibu, aku terpilih mewakili kelasku untuk lomba baca puisi di sekolah. Ibu senang mendengarnya. Dan berjanji akan hadir melihat penampilanku pada Lomba nanti. Yes, aku semangat.
Hari ini, Lomba baca puisi dilaksanakan. Ibuku duduk tepat di depan panggung. Saat namaku dipanggil, akupun maju, agak gugup tapi kulihat senyum ibuku rasa gugup itu hilang. Kubaca dengan lantang bait demi bait puisiku yang kuberi judul Bunda Sayang. Sampai pada bait terakhir...
Bunda...
Aku slalu menyayangimu
Jasamu takkan pernah bisa terbalas olehku
Namun, aku akan berusaha menjadi anak kebanggaanmu.
Kulihat mata ibuku basah, aku turun dari panggung menghampiri ibuku.
“Mama bangga,” kata Mama sembari memelukku.
Kumantapkan dalam hatiku, sama seperti puisi yang kubaca. aku akan berusaha menjadi anak kebanggaanmu hingga kelak aku dewasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar